Perkembangan kota di segala bidang tampaknya tidak hanya memberikan nuansa positif bagi kehidupan masyarakat. Namun juga melahirkan persaingan hidup, sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan.
Kota yang padat penduduk dan banyaknya keluarga yang bermasalah telah membuat makin banyaknya anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat dan hidup merdeka. Bahkan banyak kasus yang menunjukkan meningkatnya penganiayaan terhadap anak-anak, mulai tekanan batin, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual, baik oleh keluarga sendiri, teman, maupun orang lain.
Penganiayaan kepada anak merupakan alasan utama seorang anak menjadi anak jalanan. Penganiayaan ini meliputi penganiayaan mental dan fisik. Lain dari pada itu, umumnya disebabkan karena dorongan kebutuhan ekonomi, yang membuat mereka harus bekerja untuk membantu orang tua dan keluarga. Fenomena anak jalanan merupakan akses lingkaran setan kemiskinan bangsa. Kendala yang dihadapi adalah mobilitas anak-anak jalanan yang cukup tinggi.
Anak- anak yang dibimbing di rumah singgah setelah keluar tak jarang yang kembali lagi ke jalanan. Fenomena ini seringkali terjadi walapun pihak rumah singgah telah memberikan sekolah gratis, makanan gratis dan atap untuk berlindung bagi mereka. Mengapa hal ini terjadi? Karena uang. Di jalanan, mereka dengan gampang bisa memperoleh uang, yang biasanya minimum mencapai Rp. 20.000 per hari. Berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh paling tidak Rp. 600.000. Jumlah ini tentu saja relatif cukup besar bagi seorang anak di bawah umur 18 tahun dan hidup di jalanan.
Katagori Anak Jalanan
Di tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan anak jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu anak-anak yang turun ke jalanan dan anak-anak yang ada di jalanan. Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu anak-anak dari keluarga yang ada di jalanan.
Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.
Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya.
Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan.
Beberapa permasalahan dimana salah satu faktor pendorong munculnya anak jalanan adalah adanya dorongan dari orang tua kepada anak untuk mencari nafkah sehingga pemberdayaan kepada orang tua merupakan program yang akan dilakukan.
Pemerintah telah membebaskan biaya untuk masuk sekolah namun kebutuhan pendukung lainnya seperti buku dan seragam sekolah masih memberatkan para orang tua. "Hal ini yang menjadikan munculnya anak jalanan dikalangan warga miskin permasalahan ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga di seluruh daerah di Indonesia. "Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat memiliki jumlah anak jalanan yang signifikan sekitar 20 persen dari jumlah anak terlantar
Pada 2010 jumlah anak jalanan yang menjadi binaan Kemensos sebanyak empat persen dari 5.4 jumlah anak terlantar atau sekitar 160 ribu anak jalanan. Rencananya setiap tahun Kemensos akan membina 50 ribu anak jalanan hingga 2014.
Ciri-ciri anak jalanan yang hidup di jalanan.
1. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu.
2. Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja. Sisanya untuk menggelandang atau tidur.
3. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emperan toko, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun.
4. tidak bersekolah lagi.
5. pekerjaannya mengamen, mengemis, memulung, atau kerja serabutanyang hasilnya untuk sendiri.
6. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun
Anak jalanan yang bekerja di jalanan
1. Berhubungan tidak teratur dengan ortu, yakni secara periodik. Misalnya sebulan sekali, seminggu sekali. Umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
2. Berada di jalanan 8-12 jam untuk bekerja sebagian yang lain malah mencapai 16 jam
3. bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, bersama orang tua atau saudaranya atau tempat kerjanya di jalan. Tempat tinggal mereka umumnya kumuh, yang terdiri atas orang-orang sedaerah.
4. tidak lagi bersekolah
5. pekerjaannya menjual koran, mengasong, mencuci bus, memulung sampah, menyemir sepatu, karena putus sekolah.
6. Rata-rata berusia di bawah 16 tahun
Ciri-ciri anak yang rentan menjadi anak jalanan
1. Mereka setiap hari bertemu dengan orang tuanya
2. berada di jalanan sekitar 4- 6 jam sehari
3. tinggal dan tidur bersama orang tua
4. masih bersekolah
5. pekerjaannya menjual makanan, menjual koran
6. usianya rata-rata di bawah 14 tahun
Rentan kekerasan
Menjadi anjal rentan dengan aksi kekerasan. Kasus tragis yang terjadi Sabtu (9/1/2010) menimpa Ardiansyah (9), seorang bocah anjal dimulitasi ayah asuhnya, Baekuni alias Babeh (48). Orang ini yang sering menyediakan tempat baginya untuk berlindung dan merasa aman menginap serta bermain. Namun, Baekuni hendak memanfaatkan korban untuk melakukan hasrat seksualnya yang menyimpang, sodomi.
Menurut Sekertaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perlindungan Anak (PA), Arist Merdeka Sirait, banyak sekali anak-anak yang bahkan dipaksa turun ke jalan untuk mencari nafkah dengan mengemis atau mengamen, oleh orangtua mereka. Sehingga mereka menjadi anjal yang tak pernah diurus, apalagi mengenyam pendidikan.
Menurut Arist, menyuruh atau menjual anak untuk mencari uang sama saja mengeksploitasi. "Sehingga termasuk dalam tindakan pidana dan orangtuanya bisa ditangkap," jelasnya.
Belum lagi mereka harus menghadapai berbagai kekerasan seksual, seperti perkosaan, pelecehan, dan sodomi. Bahkan, setelah menjadi korban sodomi, para anjal ini cenderung bisa menjadi pelaku sodomi pada usia remaja menjelang dewasa.
Dijelaskan Arist, harus ada evaluasi menyeluruh terkait banyaknya kekerasan terhadap anjal, baik dari polisi, dan pemerintah. Menurutnya, keberadaan rumah singgah juga tidak menjamin seorang anjal bebas dari kekerasan, terutama kekerasan seksual.
"Dalam rumah singgah harus ada unsur-unsur keterampilan, keamanan, dan pendidikan, sehingga anjal bisa berusaha hidup lebih baik," ujarnya. (Ahmad Sabran)
0 komentar:
Posting Komentar